Hari Pertama Sekolah Setelah Chuseok – Halo teman-teman, annyeonghaseyo! 👋 Kembali lagi bersama saya di cerita minggu ke-7 selama berada di Korea Selatan. Rasanya senang sekali karena hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang Chuseok — hari besar di Korea yang bisa dibilang mirip seperti Idul Fitri di Indonesia. Pada masa Chuseok, masyarakat Korea biasanya pulang ke kampung halaman, berkumpul bersama keluarga, serta berziarah ke makam leluhur. Suasananya hangat dan penuh kebersamaan.

Suasana Hari Pertama Sekolah Setelah Chuseok
Daftar Isi
Pagi ini kami berangkat ke sekolah seperti biasa. Sebagai guru asing yang sedang menjalani program di salah satu sekolah di Gyeongju, saya merasa setiap hari di sini selalu memberi pengalaman baru yang bisa saya pelajari dan bawa pulang sebagai inspirasi mengajar di Indonesia nanti.

Hari pertama setelah libur panjang biasanya terasa agak berat, tapi yang menarik, baik guru maupun siswa di sini sudah benar-benar siap belajar. Tidak ada rasa malas atau suasana lesu seperti yang sering kita bayangkan setelah liburan panjang. Semuanya berjalan tertib dan penuh semangat.
Seperti biasa, setiap hari Senin para guru di sekolah ini memulai dengan briefing kerja. Kegiatan ini dipimpin oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum, bagian perencanaan, serta guru-guru yang bertanggung jawab atas kegiatan tertentu minggu ini. Dari sini saya belajar bahwa persiapan pembelajaran di Korea tidak dilakukan secara mendadak. Semua terencana, terstruktur, dan sistematis, sehingga kegiatan belajar mengajar bisa berjalan dengan sangat efektif.
Kegiatan Mengajar di Kelas Setelah Chuseok
Hari ini saya mengajar dua kelas, yaitu kelas 3-2 dan kelas 2-1. Di kelas 3-2, saya memperkenalkan konsep Global Citizenship Education (GCED) dan Sustainable Development Goals (SDGs). Saya bercerita tentang aktivitas-aktivitas siswa di Indonesia, agar mereka mengetahui kehidupan pelajar dari negara lain. Nantinya, ketika saya kembali ke Indonesia, saya juga akan berbagi cerita tentang kegiatan siswa di Korea kepada siswa saya di tanah air. Ini menjadi bentuk kecil pertukaran budaya dan pendidikan antarnegara.
Di kelas 2-1, saya mengulas materi tentang agama dan kepercayaan di Indonesia, termasuk enam agama yang diakui oleh negara. Tujuan pembelajarannya adalah menanamkan sikap toleransi dan menghargai perbedaan keyakinan. Saya ingin siswa Korea memahami bahwa di Indonesia, keberagaman adalah kekuatan, dan kita semua hidup berdampingan dengan damai meskipun memiliki keyakinan berbeda.
Kunjungan ke Bulguksa Temple dan Seokguram Grotto
Sore harinya, saya berkesempatan mengunjungi dua situs bersejarah terkenal di Gyeongju, yaitu Bulguksa Temple dan Seokguram Grotto. Kedua tempat ini telah ditetapkan sebagai Warisan Dunia UNESCO karena nilai sejarah, budaya, dan arsitekturnya yang luar biasa.

🛕 Bulguksa Temple (불국사)
Bulguksa berarti “Kuil Tanah Buddha.” Kuil ini dibangun pada tahun 751 Masehi, pada masa Dinasti Silla, oleh seorang bangsawan bernama Kim Dae-seong. Pembangunan kuil ini dipersembahkan untuk menghormati orang tuanya dan melambangkan doa agar manusia bisa hidup damai di dunia dan mencapai pencerahan di alam baka. Secara arsitektur, Bulguksa adalah mahakarya seni dan teknik zaman Silla. Kompleks kuil ini dibangun di lereng Gunung Tohamsan dan memiliki struktur batu yang sangat kokoh, tangga bertingkat, serta beberapa pagoda terkenal seperti Dabotap dan Seokgatap.
Yang menakjubkan, seluruh struktur kuil dirancang tanpa semen modern—semuanya menggunakan teknik penguncian batu tradisional yang membuat bangunan ini bisa bertahan lebih dari 1.200 tahun hingga sekarang. Keseimbangan antara batu, kayu, dan ornamen pahatan menunjukkan tingkat kecerdasan arsitektur dan spiritualitas tinggi masyarakat Korea pada masa itu.
⛩ Seokguram Grotto (석굴암)
Tidak jauh dari Bulguksa, terdapat Seokguram Grotto, gua buatan yang dibangun di lereng yang sama. Gua ini juga dibangun pada abad ke-8 oleh Kim Dae-seong. Di dalamnya terdapat patung Buddha raksasa yang sedang duduk dalam posisi meditasi, menghadap ke laut timur.
Yang luar biasa, seluruh gua ini dibentuk dari granit dan disusun dengan perhitungan geometri serta filosofi Buddhis yang sangat presisi. Setiap detail arsitektur melambangkan kesempurnaan alam semesta, dari bentuk kubah, dinding, hingga posisi patung-patung pengiringnya.
Teknik ventilasi dan tata cahaya alami di dalam gua pun menunjukkan betapa majunya ilmu arsitektur dan seni pada masa itu.

Kedua tempat ini tidak hanya menjadi objek wisata religi, tetapi juga simbol kebesaran budaya Korea yang berhasil dipertahankan selama berabad-abad. UNESCO menetapkannya sebagai World Heritage Site pada tahun 1995 karena nilai sejarah dan keindahan artistiknya yang tak ternilai.
Dari pengalaman hari ini, saya belajar bahwa segala sesuatu yang hebat berawal dari perencanaan yang matang dan niat yang tulus.
Baik dalam dunia pendidikan maupun dalam pembangunan sebuah karya besar seperti Bulguksa dan Seokguram, semua memerlukan ketelitian, struktur, dan dedikasi tinggi.
Sebagai guru, saya juga menyadari pentingnya mengajarkan anak-anak sesuai zamannya, namun tetap menanamkan nilai sejarah dan budaya agar mereka memahami akar identitas bangsanya. Dengan begitu, generasi muda tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga bijak dan berkarakter.