Nilai Global Lewat Musik Tradisional Indonesia
Nilai Global Lewat Musik Tradisional Indonesia

Nilai Global Lewat Musik Tradisional Indonesia

Posted on

Nilai Global Lewat Musik Tradisional Indonesia – Annyeonghaseyo, teman-teman! 👋Kembali lagi di catatan harian saya. Hari ini terasa cukup istimewa karena suasananya penuh dengan persiapan menjelang observasi pembelajaran yang akan dilaksanakan besok, Rabu, 15 Oktober 2025. Kegiatan ini akan dihadiri langsung oleh perwakilan dari Kementerian Republik Indonesia dan APCEIU (Asia-Pacific Centre of Education for International Understanding). Jadi, sejak pagi semua peserta dari Indonesia terlihat sibuk mempersiapkan materi, menata kelas, dan memastikan segala sesuatu berjalan lancar. Minggu ke-7 – Hari Kedua (Selasa, 14 Oktober 2025)

Suasana Pagi yang Hujan

Pagi ini hujan turun sejak pukul lima hingga sekitar pukul delapan. Di Korea, hujannya biasanya tidak terlalu deras, tapi bisa berlangsung cukup lama. Saya perhatikan hal menarik di sini — meskipun hujan, tidak ada satu pun siswa atau guru yang absen. Semua tetap datang ke sekolah dengan membawa payung masing-masing.

Pemandangan pagi hari di gerbang sekolah sangat rapi dan tertib. Para guru berdiri di pos masing-masing untuk menyambut para siswa yang datang, sambil memastikan mereka menyeberang jalan dengan aman. Disiplin seperti ini menjadi kebiasaan yang benar-benar ditanamkan sejak dini di sekolah-sekolah Korea.

Begitu sampai di pintu masuk, ada karpet dan alat pengering payung otomatis. Jadi, siswa dan guru bisa membersihkan alas kaki serta mengeringkan payung sebelum masuk ke area sekolah. Hal-hal kecil seperti ini mencerminkan budaya kebersihan dan keteraturan yang sangat kuat di Korea.

Nilai Global Lewat Musik Tradisional Indonesia

Hari ini saya kembali mengajar seperti biasa. Materi yang saya bawakan cukup spesial karena saya memperkenalkan musik tradisional Indonesia, khususnya dari daerah asal saya, Lampung. Salah satu alat musik yang saya tunjukkan adalah cetik atau gamolan pekhing, alat musik dari bambu yang menghasilkan bunyi khas dan lembut.

Meskipun topiknya tentang budaya Indonesia, saya tetap mengaitkannya dengan nilai-nilai Global Citizenship Education (GCED) dan Sustainable Development Goals (SDGs). Melalui pengenalan alat musik ini, siswa saya ajak untuk memahami bahwa setiap budaya punya kontribusi dalam menjaga keberlanjutan bumi.

Misalnya, cetik yang dibuat dari bambu bisa dihubungkan dengan dua poin SDGs:

  • Life on Land (SDG 15) – menjaga kelestarian sumber daya alam.
  • Responsible Consumption and Production (SDG 12) – menggunakan bahan alam secara bijak dan berkelanjutan.

Menariknya, para siswa di sini sangat aktif dan antusias. Mereka bukan hanya mendengarkan, tapi juga berani bertanya dan mencoba memainkan alat musik tersebut. Beberapa di antaranya bahkan menebak bahwa bunyinya mirip dengan alat musik Korea tradisional seperti gayageum atau buk (drum tradisional). Momen itu menjadi ruang yang sangat indah untuk pertukaran budaya dan nilai global di dalam kelas.

Refleksi tentang Sistem Sekolah di Korea

Secara umum, sistem pembelajaran di Korea dan Indonesia memiliki banyak kesamaan, terutama dalam hal tujuan pembelajaran, proses, dan evaluasi. Di sini juga ada ulangan harian, penilaian tertulis, hingga ujian akhir semester. Namun, ada beberapa hal yang cukup berbeda.

Salah satunya adalah tingkat partisipasi siswa dan konsistensi kedisiplinan mereka. Siswa di sini terbiasa datang lebih awal, menyiapkan buku, membersihkan ruang kelas, dan mengikuti pelajaran tanpa banyak distraksi. Mereka juga sangat menghormati guru dan selalu menjaga fokus selama kegiatan belajar.

Selain itu, kerja sama antara guru dan siswa terasa sangat erat. Guru tidak hanya mengajar, tetapi juga berperan sebagai pembimbing harian yang mendampingi siswa di berbagai kegiatan, mulai dari menyambut di pagi hari, makan siang bersama, hingga memastikan mereka pulang dengan selamat.

Budaya ini membuat saya belajar banyak tentang arti kedisiplinan, tanggung jawab, dan bagaimana membangun lingkungan belajar yang sehat dan menyenangkan.

Hari ini saya merasa bersyukur bisa berbagi budaya Indonesia di ruang kelas Korea. Melalui musik tradisional seperti cetik Lampung, saya tidak hanya memperkenalkan warisan bangsa, tapi juga menanamkan pesan global tentang pelestarian budaya dan keberlanjutan lingkungan.

Besok adalah hari observasi — semoga semua berjalan lancar. Yang pasti, pengalaman hari ini mengingatkan saya bahwa belajar lintas budaya bukan sekadar tentang bahasa atau alat musik, tapi tentang membangun pemahaman global dan saling menghargai perbedaan.