Gyeongju, Korea Selatan – Kali ini masuk ke catatan pribadi saya di minggu ke-8, tepatnya hari Senin, 20 Oktober 2025. Senin Penuh Cerita dan Refleksi Pendidikan di Korea – Hari ini sebenarnya terasa seperti hari-hari biasanya di sekolah. Tapi kalau diperhatikan lebih dalam, selalu saja ada hal kecil yang berbeda dan menarik untuk diceritakan.

Pagi ini kegiatan dimulai seperti biasa. Namun, ada sedikit perubahan jadwal mengajar. Kami para guru dari program IKTE (Indonesian-Korean Teacher Exchange) mendapatkan penyesuaian kelas. Kalau biasanya saya mengajar di kelas tertentu, kali ini jadwalnya digeser untuk menyesuaikan kebutuhan sekolah. Meskipun begitu, porsi jam mengajar tetap sama, yaitu 15 jam pelajaran setiap minggu yang tersebar di tiga jenjang: kelas 1, kelas 2, dan kelas 3.
Untuk materi pelajarannya sendiri, kami masih mengajarkan pengenalan budaya Indonesia—mulai dari makanan, tradisi, hingga nilai-nilai sosial—yang diintegrasikan dengan pembelajaran berbasis GCED (Global Citizenship Education) dan nilai-nilai SDGs (Sustainable Development Goals). Jadi, siswa tidak hanya belajar bahasa dan budaya, tapi juga belajar menghargai keberagaman dan memahami isu global dari konteks yang dekat dengan mereka.

Seperti biasa, setiap hari Senin pagi diadakan briefing atau rapat rutin antara guru, kepala sekolah, dan tim manajemen. Rapat ini singkat saja, sekitar 10–15 menit. Biasanya membahas kegiatan yang akan dijalankan selama satu minggu, pengumuman penting, atau pembagian tugas. Uniknya, setiap guru di Korea memiliki peran spesifik. Misalnya guru BK berdiri menyampaikan kegiatan konseling, guru olahraga menyampaikan agenda pertandingan, lalu guru bidang akademik memberikan update terkait ujian atau jadwal pembelajaran.

Di sekolah-sekolah Korea, semua kegiatan sangat terstruktur dan sistematis. Jadwal, program, bahkan kegiatan non-akademik seperti school event sudah direncanakan jauh-jauh hari. Hampir tidak ada kegiatan yang sifatnya mendadak kecuali memang benar-benar darurat. Hal ini membuat suasana kerja menjadi tertib dan efisien.
Yang menarik, selama saya di sini, saya belum pernah menjumpai upacara bendera seperti di Indonesia. Biasanya, bentuk penghargaan atau apresiasi siswa dilakukan secara simbolis di dalam kelas atau melalui sistem poin yang tercatat dalam aplikasi sekolah. Jadi siswa tetap termotivasi tanpa harus ada seremoni formal seperti di sekolah-sekolah kita.

Untuk materi pembelajaran minggu ini, saya mengajak siswa mengenal keragaman kepercayaan dan hari besar keagamaan di Indonesia. Mereka tampak antusias saat mendengar cerita tentang Idul Fitri, Nyepi, Natal, dan Waisak yang semuanya dirayakan dengan damai. Beberapa siswa bahkan kagum karena di Indonesia, umat dari berbagai agama bisa hidup berdampingan dengan saling menghormati.
Senin Penuh Cerita dan Refleksi di Korea
Nah, hari ini juga terasa spesial karena ada kunjungan dari teman kami sesama peserta program guru Malaysia. Salah satu sahabatnya kebetulan datang berlibur ke Korea. Mereka sempat mampir ke Gyeongju, dan kami pun memanfaatkan waktu sore hari untuk jalan-jalan ke pusat kota, menikmati suasana klasik khas Gyeongju yang penuh sejarah. Kami mengunjungi situs Cheomseongdae, menara observasi bintang tertua di Asia Timur yang jadi ikon kota ini.

Setelah puas berkeliling, kami lanjut makan malam bersama sambil berdiskusi ringan tentang pendidikan di Korea, Malaysia, dan Indonesia. Kami membandingkan bagaimana sistem di masing-masing negara menanamkan nilai karakter kepada siswa. Salah satu hal yang saya pelajari di sini, di Korea guru memiliki peran ganda sebagai pembimbing karakter dan konselor ringan bagi siswanya. Mereka sangat dekat dengan murid, tapi tetap menjaga batas profesionalitas.
Obrolan malam itu ditutup dengan permainan sederhana sambil tertawa bersama. Rasanya menyenangkan bisa bertukar pikiran dengan rekan dari negara lain, apalagi dengan suasana Korea yang mulai dingin menjelang musim gugur.
