Belajar dari Peran Guru di Korea – Halo teman-teman semua, kembali lagi di catatan harian saya selama mengikuti program IKTE 2025. Hari ini adalah Selasa, 23 September 2025, minggu ke-4, tepatnya hari kedua. Seperti biasa, saya ingin berbagi cerita yang semoga bisa diambil pelajarannya, baik untuk saya sendiri maupun untuk teman-teman yang membaca.

Pagi ini saya berangkat ke sekolah pukul 08.00 bersama teman-teman peserta dari Malaysia. Kami tinggal di apartemen yang sama, jadi meskipun tidak sekamar, kami selalu berangkat bareng menuju sekolah.
Fokus Siswa Menjelang Ujian
Daftar Isi
Setelah tiba di sekolah, kami mendapat pengumuman dari wakil kepala sekolah bahwa minggu ini siswa-siswa sedang dipersiapkan menghadapi ujian tengah semester. Karena itu, mereka difokuskan belajar bersama guru mata pelajaran di kelas masing-masing. Sedangkan kami, guru budaya dari program ini, diberi kesempatan untuk menyiapkan bahan pengajaran minggu depan.

Minggu depan rencananya akan ada kunjungan dari pihak luar, termasuk perwakilan APCEIU dan instansi terkait pendidikan. Jadi, sekolah ingin memperlihatkan bagaimana proses pembelajaran berlangsung bersama kami.
Guru sebagai Pendengar dan Pembimbing
Hari ini saya melihat satu hal yang sangat menarik. Ada seorang siswa yang sedang berbicara serius dengan gurunya, seolah sedang bercerita atau curhat. Dari situ saya belajar bahwa di Korea, peran guru bukan hanya sekadar menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga menjadi pendamping dalam menyelesaikan permasalahan siswa. Disinilah saya belajar dari peran guru di korea.

Guru berperan sebagai tempat curhat, pemberi saran, bahkan menjadi jembatan bagi siswa dalam mengambil keputusan terbaik. Jadi, hubungan guru dan murid di sini tidak hanya formal di kelas, tapi juga mendukung perkembangan pribadi dan emosional siswa.
Di Indonesia pun sebenarnya peran ini ada. Namun, di sini terlihat lebih terstruktur. Ada ruangan khusus bernama Wee Room (semacam ruang konseling), tempat siswa bisa mendapat bimbingan jika menghadapi masalah, baik dalam pembelajaran maupun pertemanan. Guru konseling di sekolah ini jumlahnya disesuaikan dengan jumlah siswa, sehingga pendampingan lebih optimal.
Yang menarik, guru konseling tidak selalu harus berasal dari bidang khusus bimbingan konseling. Ada juga guru mata pelajaran, seperti guru bahasa Inggris, yang ikut membantu siswa selama ia memiliki kompetensi dan empati yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa pelayanan terhadap siswa benar-benar menjadi prioritas utama di sekolah ini.
Pengalaman di Terminal Bus Korea
Sore harinya, setelah pulang sekolah, saya dan teman-teman pergi ke terminal bus di kota Yongju, ditemani oleh Mr. Kamal. Terminal ini cukup besar dan memiliki dua titik utama. Fungsinya bukan hanya untuk bus dalam kota, tetapi juga untuk bus antarprovinsi.

Kalau bus dalam kota biasanya cukup tap kartu, berbeda dengan bus antarprovinsi. Di sini, tiket harus dibeli di loket atau mesin otomatis di terminal. Bahkan, jika ingin bepergian pada hari libur besar seperti Chuseok, tiket harus dipesan setidaknya satu hingga dua minggu sebelumnya. Kalau tidak, bisa dipastikan tiket akan habis karena banyak orang yang pulang kampung.

Perjalanan dengan bus antarprovinsi di Korea biasanya memakan waktu antara 2–4 jam, tergantung jarak kota tujuan. Bus yang digunakan juga nyaman, khusus, dan terjadwal dengan tepat waktu. Jadi, kita harus benar-benar disiplin saat berangkat maupun kembali.

Bagi saya pribadi, pengalaman ini sangat berharga. Selain belajar tentang sistem transportasi di Korea, saya juga belajar bagaimana masyarakat di sini disiplin dalam mengatur waktu, terutama saat menghadapi musim liburan besar.

Itulah cerita saya hari ini. Dari pengalaman sederhana ini, saya belajar dua hal penting:
- Guru adalah pendamping kehidupan siswa, bukan hanya pengajar materi.
- Disiplin dalam mengatur waktu sangatlah penting, baik di sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Semoga cerita ini bisa memberi gambaran dan pelajaran berharga untuk kita semua. Sampai jumpa di catatan saya berikutnya!